MENGENAL
NYANYIAN GEREJA DAN TEMPATNYA DALAM LITURGI
(Makalah
ini disampaikan pada Pelatihan Song Leader HKI Resort Medan II)
Disampaikan
oleh: Pdt. Tahan Master Simaremare
Konteks bergereja dewasa ini
adalah “perang gaya baru,” yaitu perang ibadah.[1]
Gereja-gereja kontemporer tampil dengan wajah segar dalam berbagai bidang
pelayanan yang market sensitive—peka pasar, peka dengan keinginan
orang-orang di zaman ini—termasuk ibadah yang ditata untuk menarik
pengunjung gereja. Dampak yang diakibatkan tak dapat dibilang kecil. Kian
meruncing tensi antara gereja-gereja kontemporer dengan gereja-gereja
tradisional yang formal-liturgical ataupun hymn-based. Tetapi
dari sekian area yang menjadi “Padang Kurusetra”[2]
perang ibadah itu, musik dan nyanyian gereja merupakan area yang penuh ranjau!
Makalah ini berusaha
menolong jemaat untuk mengambil sikap yang bertanggung jawab dalam memilih
nyanyian gereja. Jangkauan tulisan ini yaitu pada teologi nyanyian jemaat,
tempat nyanyian jemaat dalam liturgi gereja serta kandungan teologis sebuah
himne.[3]
Terhadap “perang ibadah” dan khususnya “perang musik,” keputusan kita sering
dikendalikan oleh dua hal: (1) menurut selera kita; atau (2) menurut kebiasaan
yang selama ini berlaku. Cara pertimbangan seperti ini tentu tidak tepat.
Sebagai gereja Kristen, kita seharusnya mempertimbangkan tiga hal untuk
bersikap: (1) selaras dengan Kitab Suci, (2) dengan mempertimbangkan tradisi
gereja serta (3) konteks budaya di mana gereja berada.
Kitab Suci adalah norma
tertinggi dan otoritas yang mutlak bagi pranata gereja (norma normans
non normata), namun kita pun harus menerima fakta bahwa setiap orang
Kristen mendekati Alkitab melalui tradisi gereja. Dengan kata lain,
titik start seseorang untuk mendekati Alkitab dan memahaminya adalah melalui
tradisi gereja. Apakah tradisi gereja tidak dapat khilaf? Tentu dapat. Tetapi
berhasrat menjadi gereja yang alkitabiah tanpa mempertimbangkan tradisi gereja
dengan arif (dan kritis) hanya akan menjerumuskan kita kepada satu bentuk bidat
gaya baru. Sebuah gerakan spiritual Kristen dikategorikan sebagai bidat apabila
mengklaim pengajarannya dan pranata-pranatanya sebagai yang paling benar dan
mengabaikan tradisi yang sudah ada sebagai pihak yang menyimpang, ataupun tidak
mau duduk di bawah pengajaran bapa-bapa gereja. Dalam pada itu, tradisi mana
yang harus menjadi pertimbangan kita? Menurut hemat penulis, yaitu tradisi
Reformasi yang melahirkan gereja-gereja Protestan. Mengapa demikian? Tradisi
Reformasi berusaha mempertahankan katolisitas dalam pengajaran Gereja Tuhan.
Dengan perkataan lain, karakteristik tradisi Reformasi adalah “katolik.”[4]
Reformasi tidak bermaksud membuat sebuah “tradisi” yang baru, tetapi
melanjutkan pokok-pokok pengajaran yang diwariskan oleh bapa-bapa gereja
berabad-abad sebelumnya. Para reformator arus utama disebut “murid-murid bapa
gereja”! Martin Luther menimba pemahaman dari St. Augustinus dari Hippo.
Yohanes Calvin, walaupun di satu sisi sangat kritis dengan tradisi Katolik Roma
pada waktu itu, ternyata banyak sekali dipengaruhi juga oleh St. Augustinus dan
mistikus Katolik St. Bernardus dari Clairvaux.[5]
Pertimbangan selanjutnya
untuk bersikap adalah konteks, sehingga gereja dan segenap pranatanya bukan
merupakan “fotokopi” dari satu kebudayaan asing. Terkadang Gereja tidak berani
menjadi autentik dalam konteksnya. Katakanlah, kita di Indonesia mewarisi
Kekristenan dari Eropa; dan saat ini banyak gereja kontemporer mengimpor
pranata gereja populer dan kharismatik dari Negeri Paman Sam, Amerika
Serikat—yang akhirnya menjadi subkultur gereja-gereja pada masa kini!
Sebaliknya, gereja perlu mengekspresikan pemahaman iman dalam konteks budaya
setempat. Mencermati perkataan Max L. Stackhouse, “We are still in the age
of contextualizing the faith, an age which extends from Pentecost to the
eschaton, and a faith that is relevant to every particular context.”[6]
Nyanyian gerejawi pun perlu kontekstual.
II
Marilah kita mengamati tempat himne dalam Gereja Perjanjian Baru.
Bila kita amati, Gereja PB melanjutkan tradisi yang diturunkan oleh Alkitab
Ibrani dan orang-orang Yahudi pada zaman pascapembuangan.
Prioritas Mazmur
Dalam Alkitab Ibrani, Kitab
Kidung Mazmur tidak hanya berisi lagu-lagu religius, tetapi lagu-lagu lain yang
mempunyai latar belakang dalam lagu sekular dan populer pada zaman itu, seperti
lagu-lagu untuk kerja, gita cinta, dan gita pernikahan. Kebanyakan adalah lagu
pujian, ucapan syukur, doa dan pertobatan. Juga dapat ditemukan nyanyian
(Yunani d ) bersejarah yang berhubungan dengan peristiwa besar di negara
Israel, misalnya Mazmur 30 “untuk penahbisan Bait Suci,” dan Mazmur 137, yang
memotret penderitaan orang-orang Yahudi di pembuangan. Mazmur sendiri merupakan
bagian penting dalam ibadah di Bait Suci; kitab kidung Mazmur menjadi buku
kidung liturgis standar ibadah umat Allah.
Ibadah memasukkan mazmur terpilih untuk tiap-tiap hari selama
seminggu. Mazmur 24 untuk hari I, Mazmur 48 untuk hari II, Mazmur 82 untuk hari
III, Mazmur 94 untuk hari IV, Mazmur 81 untuk hari V, Mazmur 93 untuk hari VI,
dan Mazmur 92 untuk hari Sabat. Setelah mempersembahkan kurban, pada ibadah
pagi umat mengidungkan Mazmur 105.1–5 dan Mazmur 96 untuk ibadah malam.
Mazmur-mazmur Hallel (Mzm. 113–118, 120–136, 146–148) dinyanyikan pada
pesta Paskah. Pada masa pascapembuangan, nyanyian Mazmur dipindahkan dari Bait
Suci ke sinagoga, yang di kemudian hari mempengaruhi gereja Kristen.
Himne dalam Gereja Perdana
Gereja sebenarnya mewarisi
harta karun di dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) yang memuji Allah dengan:
(1) menyanyikan lagu-lagu bernada sederhana dan beritme ajeg, (2)
nyanyian jemaat dengan pengulangan bercorak antifonal dan responsori (mazmur),
(3) melodi-melodi yang diolah untuk satu kata (misalnya Alleluia). Dalam
sinagoga Yahudi, gaya membaca dengan lantunan nada dipakai dalam pembacaan
kitab, doa-doa dan bermazmur.[7]
Dari survei di atas terlihat
dengan jelas peran penting nyanyian jemaat dalam Gereja Perjanjian Baru. Mazmur
tetap dipertahankan. Bahkan Hughes Oliphant Old, teolog Reformed sekaligus
pakar liturgi Protestan, berkata bahwa Mazmur merupakan pusat puji-pujian
Gereja PB. Bentuk ini juga yang melahirkan “mazmur-mazmur Perjanjian Baru,”
seperti Magnificat atau Nyanyian Maria (Luk. 1.46–55), Benedictus
atau Nyanyian Zakharia (Luk. 1.68–79) serta Nunc Dimittis atau Nyanyian
Simeon (Luk. 2.29–32),
Mazmur-mazmur PB ini ditulis
dalam genre (jenis sastra) mazmur ucapan syukur (lih. Mzm. 100). Dari
sudut pandang teologi perjanjian, ada indikasi yang kuat bahwa mazmur PB
merupakan pemenuhan mazmur PL.[8]
Umat Ibrani mengucap syukur karena Allah memerintah umat dan alam semesta.
Sekarang Mesias Yesus memerintah segala sesuatu, karena itu bukanlah suatu
konsep asing bila umat perjanjian baru menaikkan syukur atas pemerintahan
Allah. Sementara itu, komposisi-komposisi baru kidung puji-pujian (himne)
berkembang pula dengan pesatnya. Ada jenis nyanyian kuno lain lagi dalam PB,
yakni lirik-lirik pendek yang didendangkan seperti “Amin” (Amen),
“Alleluia” dan “Kudus, kudus, kudus” (Sanctus).
Surat-surat Rasul Paulus
Rasul Paulus menyebut tiga
jenis nyanyian umat: mazmur (psalmos) himne (hymnos) dan nyanyian
rohani ( d ). Ia menasihati jemaat dalam Efesus 5.19, “dan
berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan
nyanyian rohani. Bernyanyilah dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.”
Demikian juga dalam Kolose 3.16, “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan
segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar
dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan
puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam
hatimu.”
Menyanyikan Mazmur merupakan kebiasaan yang diwarisi dari ibadah
di sinagoga, dan kita dapat berasumsi bahwa “mazmur” Kristiani mengikuti gaya
berkidung Yahudi. Istilah “himne” sangat mungkin mengacu kepada teks-teks yang
digubah dalam bentuk puisi, bisa jadi mengikuti model mazmur, hanya kini
ditujukan untuk memuji Kristus. “Nyanyian” merujuk kepada lagu yang lebih
spontan, keluar dari hati yang meluap, bergaya kontemporer dan dinyanyikan
secara melismatic (dinyanyikan hanya dalam 1 nada) dan kemungkinan cikal
bakal nyanyian Alleluia. Ada dugaan bahwa nyanyian ini mirip yang
ditemukan dalam kelompok mistik Yahudi, yakni doa yang dinyanyikan secara
ekstatis, atau dendangan tanpa kata-kata. Namun hal yang baru saja dikemukakan
ini tidak dapat dijadikan norma bagi istilah “nyanyian.”
“Mazmur” (psalmos) diturunkan dari kata psall yang
artinya “memetik atau memainkan (instrumen berdawai),” maka berarti “suatu
nyanyian yang dilantunkan dengan alat musik berdawai.” Penemuan Gulungan Laut
Mati 1QH dan 11QPsa dan kitab Mazmur Salomomemberikan titik terang kepada kita
bahwa tradisi Yahudi pada abad I S.M. telah memraktikkan nyanyian -nyanyian
mazmur gaya baru untuk digunakan dalam ibadah di sinagoga, dan hal ini berlanjut
hingga periode PB. Gereja Perdana nampaknya memang memakai kitab kidung Mazmur,
tetapi tidak berhenti sampai di situ saja; Gereja memiliki kecakapan untuk
mengadaptasi tema-tema teologi PL dan menggubahnya sebagai komposisi nyanyian
Kristen. Lebih kurang berpadanan dengan mazmur, yaitu “kidung pujian” (hymnos)
merujuk kepada kidung yang biasanya ditujukan bagi dewata atau para pahlawan
dalam dunia Greko -Romawi. Di Kisah 16.25, Paulus dan Silas menyanyikan hymnos
dalam penjara. Di Ibrani 2.12, penulis mengutip Mazmur 22.23 di mana pemazmur
memuji Allah di tengah-tengah jemaat. Maka dapat disimpulkan bahwa hymnos merupakan
“nyanyian untuk memuji-muji Allah.” J. B. Lightfoot pernah mengatakan bahwa
mazmur adalah nyanyian yang digubah langsung dari Alkitab, sedangkan himne
adalah karangan yang khas dari Gereja Kristen; namun pandangan ini belumlah
final. Dari penyelidikannya, James D. G. Dunn akhirnya menyimpulkan bahwa
orang-orang Kristen perdana juga memakai himne-himne yang diambil dari luar
Alkitab, dan hal ini tidak diperdebatkan hingga abad III M.[9]
Kata ketiga, d dipakai sebagai lagu penguburan jenasah dalam suatu
tragedi tetapi lebih sering mengacu kepada nyanyian sukacita atau sekadar
nyanyian saja. Di PB dipakai pula dalam Wahyu 5.9; 14.3; 15.3. Kata sifat yang
menyertainya, “rohani,” merupakan suatu lagu yang dilantunkan oleh ilham
langsung dari Roh Kudus (dalam Efesus 5.19, menyanyi berhubungan dengan
kepenuhan Roh Kudus). Apakah ini merujuk kepada glossolalia, ricauan
ekstatis non-gramatik? Sangat sulit menyimpulkan demikian, sebab kata ini
berada dalam konteks pengajaran dan kehidupan berjemaat yang saling menasihati;
maka, mungkinkah berkata-kata satu sama lain dalam bahasa-bahasa yang
tidak dimengerti? Tetapi yang jelas yakni adanya unsur spontanitas dari dalam
hati. Menurut N. T. Wright, ketiga istilah yang dipakai di ayat ini menunjukkan
betapa kaya dan beragamnya nyanyian-nyanyian Kristen dan kiranya tidak dipersempit
menjadi satu jenis saja atau dibatasi hanya untuk keperluan ibadah mingguan.[10]
Pada akhirnya kita mengerti bahwa Gereja Paulin (berdasarkan tradisi Paulus)
memandang penting puji-pujian kepada Allah.
Hal di atas semakin dapat
kita pahami dengan jelas apabila memperhatikan parafrase Efesus 5.19, dengan
berkata-kata seorang kepada yang dalam mazmur-mazmur, himne dan nyanyian-nyanyian
yang diinspirasikan Roh, dengan menyanyikan nyanyian-nyanyian dan memainkan
alat musik dengan segenap hatimu kepada Tuhan.[11]
Tiap-tiap klausa memiliki
fokus perhatian yang spesifik: Pertama, klausa pertama berdimensi
horisontal dengan titik berat pada hubungan antarjemaat, sangat mungkin dalam
ibadah formal tetapi bisa dalam kesempatan lain pula. Di Efesus, kata yang
lebih umum dipakai, “berkata-kata,” sedangkan di Kolose kata khusus “mengajar
dan menegur”; dalam hal ini rasul memaksudkan hal yang sama, yaitu adanya
pengajaran, penguatan iman dan penghiburan dengan cara beragam nyanyian yang
diilhamkan Roh. Ragam nyanyian itu disebut “rohani” tidak semata-mata berciri
spontan atau ekstatis (mengalami ekstase); fokus utamanya adalah Sumber
inspirasi nyanyian itu—Roh Kudus. Fakta bahwa seorang jemaat berkata-kata kepada
yang lain mengungkapkan bahwa rasul menghendaki adanya komunikasi ibadah yang
dapat dimengerti— bukan meditasi, ucapan yang tidak dapat dimengerti atau glossolalia.
Kedua,
klausa kedua berdimensi vertikal dengan titik berat pada menyanyi dengan seluruh
keberadaan kepada Tuhan. “Hati” merujuk kepada totalitas kehidupan
seorang Kristen. Maka, pujian seharusnya dipersembahkan dari dalam hati kepada
Tuhan yang satu itu, yakni Yesus Kristus. Fokus nyanyian rohani adalah Yesus
sebagai Tuhan, Sang Putra yang telah mewujudnyatakan pengharapan eskatologis.
Ketiga,
keduanya bukan dua aktivitas yang berbeda. Berkata-kata dengan mazmur, kidung
pujian dan nyanyian mengingatkan jemaat yang lain kepada Allah yang berkarya di
dalam Tuhan Yesus Kristus, tetapi sekaligus—pada momentum yang
sama—jemaat menaikkan pujian kepada Tuhan Yesus “dengan seluruh keberadaannya.”
Jadi, dengan menyanyi dan memainkan musik, maka tiap-tiap jemaat diajar dan
diteguhkan imannya dan pujian dipersembahkan kepada Tuhan Yesus. Satu nyanyian memiliki
dua fungsi dan tujuan sekaligus!
Kitab Wahyu
Dalam Wahyu pun bertebaran
kidung puji-pujian yang dihunjukkan bagi Kristus Pemenang. Wahyu dapat dipahami
sebagai Kitab Konflik, Kitab Kemenangan, namun lebih dari itu Kitab Perayaan.
Kitab ini merayakan kemenangan Kristus, dengan puji-pujian yang berpusatkan
Kristus sebagai klimaks karya Allah. Wahyu merekam banyak sekali
nyanyian-nyanyian ibadah jemaat yang bernuansa kidung kemenangan (mis. 5.9–10;
11.17–18; 12.10–12; 15.3–4; 19.6–8). Perhatikan Wahyu 4.8,
Kudus,
kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada
dan yang ada
dan yang akan datang.
Kata “kudus” yang diulang tiga kali menyatakan penegasan. Dalam
ilmu tafsir, pengulangan kata menujukkan penekanan, maka pengulangan kata
“kudus” hingga tiga kali menyatakan penekanan yang lebih lagi. Para ahli
menyatakan bahwa Sanctus merupakan teks liturgis tertua yang dimiliki
oleh Gereja. Tak dapat diragukan teks ini diambil dari Yesaya 6.3. Kekudusan
Tuhan menarik garis antara Allah sebagai The Wholly Other, “Ia yang Sama
Sekali Lain,” dari ciptaan, dan Allah akan bersegera dalam menjalankan
penghakiman-Nya. Allah disebut sebagai “Yang Mahakuasa” (ho pantokrator—gelar
teknis favorit penulis Wahyu bagi Allah), berarti Ia yang memiliki kuasa dan
pemerintahan atas segala ciptaan. Yang “sudah ada, ada, dan akan datang” (bdk.
Why. 1.8) menegaskan kekekalan dan kedaulatan mutlak Allah—bahwa Allah saja
yang mengendalikan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Menurut
Robert H. Mounce, ketiga penunjuk waktu ini merentangkan pemahaman mengenai
penyataan nama “Yahweh” dalam Kel. 3.14, “AKU ADALAH AKU.”[12]
Wahyu
5.9–10,
Dan
mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: “Engkau layak menerima gulungan
kitab itu
dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan
dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku
dan
bahasa dan kaum dan bangsa.
Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan,
dan menjadi imam-imam
bagi Allah kita,
dan mereka akan
memerintah sebagai raja di bumi.”
Ide “nyanyian baru” untuk merayakan kedaulatan dan betapa layaknya
Allah sering muncul dalam Mazmur, di mana frase itu mengungkapkan ibadah baru
yang diilhami oleh kemurahan atau rahmat Allah. Di Yesaya 42.10, “nyanyian
baru” berhubungan dengan eskatologi dan penyataan “hamba TUHAN” dan “sesuatu
yang baru.” Dalam Wahyu 14.3, “nyanyian baru” dihubungkan dengan kehadiran
Kerajaan akhir, dan di sini nyanyian yang baru merayakan fondasi Kerajaan
tersebut telah diletakkan, yaitu pengurbanan Sang Anak Domba Allah. Penggunaan kainos,
“baru” di sini, dan bukan neos, “baru”—kata terakhir tidak dipakai dalam
Wahyu—menegaskan sifat kualitatifnya, bukan perihal baru secara temporal, jenis
atau gaya baru yang tidak kuno. Sifat kualitatif juga dipakai untuk “Yerusalem
baru” serta “langit baru dan bumi baru”; sehingga nyanyian baru tersebut
merupakan berita antisipatif akan zaman yang baru, yang akan segera datang itu,
pemerintahan Kristus di dalam Kerajaan-Nya yang sempurna. Komposisi nyanyian
ini adalah: (1) pernyataan betapa layaknya Sang Anak Domba, 5.9a; (2) karya
keselamatan Sang Anak Domba, 5.9b; dan (3) efek bagi para pengikut Sang Anak
Domba, 5.10.[13]
Melihat keindahan Kitab
Wahyu yang penuh kidung pujian, maka tak berlebihan bila Pdt. John Stott
menyebut kitab ini sebagai sebuah sursum corda, “Angkatlah
hatimu!”—suatu seruan agar Gereja bersorak-sorai oleh karena mahadaya karya
Allah di dalam dan melalui Sang Mesias.[14]
Kesimpulan
Pertama,
isi berita nyanyian jemaat di PB merupakan gema crescendo dari nyanyian
PL. Pusat pemberitaan nyanyian umat Allah adalah karya Allah yang maha
dahsyat. Gereja memahami jati dirinya sebagai pewaris perjanjian Allah, yang
sama dengan para leluhur iman di PL, dan karena itu apa yang dinyatakan PB harus
dilihat dalam kacamata teologi perjanjian. PB tidak akan pernah ada tanpa
PL. PB juga tak dapat berdiri independen tanpa PL.[15]
Maka, warta yang terkandung dalam nyanyian-nyanyian jemaat di PB sesungguhnya
adalah karya Allah yang sudah dinyatakan dalam PL, yang kini mencapai
klimaksnya dalam Mesias Yesus dan Roh Kudus yang dicurahkan oleh Bapa serta
Sang Mesias. Perhatikan Kolose 1.15–20,
15. Ia
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan,
yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,
karena di dalam
Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi,
yang kelihatan dan yang tidak kelihatan,
baik
singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu
diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.
17.
Ia ada terlebih dahulu dari segala
sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia.
18.
Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah
yang sulung,
yang
pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam
segala sesuatu.
19. Karena
seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,
20.
dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala
sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga,
sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.
Kedua,
nyanyian jemaat merupakan suatu dialog, semacam percakapan; subjek dan objek
pembicaraan dalam nyanyian jemaat tidak selalu sama. Suatu kali, Allah
sebagai subjek berbicara kepada manusia. Di kali lain, manusia kepada Allah.
Lain kali lagi, manusia kepada manusia tentang Allah. Dan
di kesempatan lain, manusia berbicara kepada dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, nyanyian jemaat tidak dibuat dalam bentuk-bentuk
esoteris-ekstatis—bahasa-bahasa rahasia yang sulit dipahami—tetapi memakai
bahasa yang menjadi alat komunikasi jemaat.
Ketiga ,
nyanyian jemaat memiliki pola dan patron yang khas. Dalam puisi Ibrani dikenal
adanya sajak, paralelisme dan majas. Puisi disajikan dalam baris-baris
teratur dan terikat (tidak bebas), sangat memprioritaskan keselarasan bunyi
bahasa, baik berupa kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan. Mary
Hopper menegaskan mengenai himne di PB, “These texts are set apart by
their formal poetic structure and their ‘ardor of enthusiasm.’”[16]
Nyanyian jemaat, dengan demikian, merupakan karya susastra bermutu
tinggi dan dikerjakan dengan sangat serius serta melibatkan aspek intelektual.
Inilah bukti bahwa Allah berkehendak agar umat mengasihi-Nya dengan segenap
keberadaan mereka (lih. Ul. 6.5; bdk. Mrk. 12.30 dan ayat-ayat paralelnya), dan
adanya aturan untuk beribadah bagi umat Allah (Mzm. 122.4), sehingga segala
sesuatu berlangsung dengan tertib, sopan dan teratur (1Kor. 14.33, 40).
Keempat,
terdapat ruang yang cukup luas untuk berkreasi. Gubahan-gubahan kidung baru
bertebaran di PB. Contohnya Carmen Christi, “Kidung Kristus” dalam
Filipi 2.6–11,
6. [Kristus] yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
7. melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba,
dan menjadi sama dengan manusia. 8. 8.Dan dalam keadaan
sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai
mati di kayu salib.
9. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia
dan mengaruniakan
kepada-Nya nama di atas segala nama,
10. supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut
segala
yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
11. dan
segala lidah mengaku:
“Yesus Kristus adalah
Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!
Ada semacam deviasi dari
kaidah standar puisi Ibrani dalam kidung di atas: tidak ada paralelisme
antarbaris, dalam aturan syair, panjangnya serta suku-suku kata yang diberi
tekanan. Dapat kita simpulkan, meski Allah menghendaki adanya ketertiban dengan
adanya aturan dan patron yang jelas, Allah juga memberikan kemerdekaan dalam
ibadah.[17]
Patron dan kemerdekaan, adalah karakteristik ibadah Kristen yang dipertahankan
dalam gereja-gereja Reformasi. Demikian pula seharusnya dalam puji-pujian
jemaat.
III
Dari penggalian biblis
terhadap nyanyian-nyanyian Gereja PB di atas, sekarang marilah kita menyarikan
motif-motif teologis himne gerejawi.
Pertama,
motif kebenaran (truth). Kita dapat menyebutkan motif pertama ini motif
“doktrinal.” Dalam menyusun doktrin, maka Alkitab, tradisi, penalaran,
konteks dan pengalaman merupakan pilar-pilarnya. Tak jauh berbeda dengan
menggubah himne. Dengan perkataan lain, himne adalah doktrin. Himne pun
memiliki fungsi layaknya doktrin, yaitu: (1) edifikasi, (2) doksologi dan (3)
proklamasi. Sebagai edifikasi, peran himne harus mampu meneguhkan iman
jemaat akan kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen. Singkatnya, himne mengambil
peran dalam pengajaran jemaat. Juga berfungsi sebagai doksologi, sebab
himne merupakan puji-pujian kepada keagungan Tuhan Yesus Kristus; pada saat
yang sama keberanian untuk memuji Kristus merupakan proklamasi di
hadapan dunia. Menyebut Yesus adalah Tuhan dalam pujian berarti kita berani
mendeklarasikan diri kita sebagai umat yang dipimpin oleh Mesias Yesus. Contoh:
himne untuk Perjamuan Kudus gubahan St. Thomas Aquinas,
Lauda, Sion,
Salvatorem . . . .
Pange, lingua,
gloriosi Corporis mysterium . . . .
Verbum supernum
prodiens, nec Patris . . . .[18]
Atau
“Love Divine, All Loves Excelling” oleh Charles Wesley,
Finish then Thy new
creation, pure and spotless let us be;
Let us see Thy great
salvation, perfectly restored in Thee;
Changed from glory
into glory, till in heaven we take our place,
Till we cast our
crowns before Thee, lost in wonder, love, and praise.
Kedua ,
motif kebaikan (goodness ). Atau kita dapat sebut sebagai motif
“eksistensial.” Hal ini lebih dari sekadar pengalaman privat ataupun
ekspresi emosional. Kebaikan erat kaitannya dengan seluruh keberadaan manusia—singkatnya,
kehidupan Kristiani secara total. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai
gambar-Nya “sungguh amat baik.” Dengan demikian, himne harus dapat
mengekspresikan sukacita, pergulatan hidup, etos kerja keras, doa-doa, derita
dan sengsara hidup, pengharapan untuk menikmati keselamatan seutuhnya, dan
syafaat umat bagi dunia. Dalam hal ini, pendobrakan dalam sejarah himne dimulai
oleh kejeniusan dan pengaruh besar dari Isaac Watts (1674–1748).[19]
Ia bereaksi terhadap Calvin yang memutlakkan pemakaian Mazmur dalam ibadah
gereja; dan menurutnya hal ini pun tidak sesuai dengan semangat Injil-injil.
Sebab, dalam Injil-injil, dan PB pada umumnya, digubah nyanyian-nyanyian baru.
Mulai sejak itu, unsur eksistensial—kehidupan Kristiani yang utuh—dimasukkan
dalam himne-himne. Namun harus tetap dicatat, meski terdapat unsur
eksistensial, fokus utama tetaplah Allah dan karya-Nya. Contoh “When I
Survey the Wondrous Cross” oleh Isaac Watts,
Were the whole realm
of nature mine,
That were an offering
far too small;
Love so amazing, so
divine,
Demands my soul, my
life, my all.
Ketiga,
motif keindahan (beauty). Kita menyebut pula motif “puitis dan
kesalehan.” Seni dan spiritualitas berpadu harmonis dalam himne; atau,
terdapat sentuhan kreativitas manusia serta unsur mistis (kebersatuan orang
percaya dengan Allah). Ada ahli yang menyebutnya sebagai ecstatic reason,
“penalaran ekstatis.” Himne, dengan demikian, merupakan urusan yang integral
antara rasio dan spiritualitas. Kata-kata himne yang diikat dalam aturan-aturan
susastra harus dapat mengantar umat pada rasa takjub dan takzim kepada misteri
rencana agung keselamatan dari Allah. Contoh “And Can It Be that I Should
Gain” oleh Charles Wesley,
He
left His Father’s throne above— So free, so infinite His grace— Emptied Himself
of all but love, And bled for Adam’s helpless race.
‘Tis mercy all, immense and free, For, O my God, it found out me!
Bila demikian, bagaimanakah
kita seharusnya menyanyikan himne? Dari pemahaman mengenai motif internal lagu,
marilah kita menelaah sisi teologis tentang bagaimana seharusnya menyanyikan
himne gerejawi.[20]
Pertama, himne dinyanyikan
dari dalam hati. Ibadah dimulai dari rumah, dan sebab itulah setiap orang
yang pergi untuk menghadap Allah kiranya mempersiapkan hatinya dengan
sungguh-sungguh. Allah tidak sedang menantikan persembahan harta, tetapi hati
kita. Allah tidak membutuhkan lagu, tetapi hati kita yang terarah kepada Dia. Hati
yang siap menyembah akan menaikkan pujian dengan penuh ketulusan.
Kedua, himne dinyanyikan
bersama jemaat lokal. Seseorang tidak pernah menjadi Kristen
solitaire, seorang diri. Setiap orang Kristen terisap dalam persekutuan
orang percaya yang disebut gereja, dan masing-masing pribadi memiliki
pergumulan hidup. Ada yang siap menyanyi, ada pula yang tengah bergulat dengan
masalah dan kesedihan. Nyanyian jemaat seharusnya mampu menyatakan sukacita dan
kesedihan jemaat, dan diikat dalam satu hati maupun satu suara. Bila seseorang
terluka, yang lain mendoakannya. Oleh karena itu, nyanyian jemaat perlu ditata
agar dapat menyapa semua perasaan umat yang beribadah (tetapi bukan ditujukan
untuk memuaskan perasaan dan keinginan jemaat).
Ketiga,
himne dinyanyikan bersama gereja di sepanjang zaman. Cakupan siapa saja yang
termasuk umat Allah jauh lebih luas daripada sekadar jemaat lokal. Ketika
menyanyikan Mazmur, kita sesungguhnya sedang mengikatkan diri dengan jemaat
yang bernyanyi pada zaman Raja Daud di masa lampau. Misalnya, “O God, Our
Help in Ages Past” (KJ 330, “Kau, Allah, Benteng yang Baka”) diambil
dari Mazmur 90 yang membawa kita sampai ke zaman Musa:
O God, our help in
ages past, Our hope for years to come,
Our shelter from the
stormy blast, and our eternal home!
Under the shadow of
Thy throne, Still may we dwell secure;
Sufficient is Thine
arm alone, And our defense is sure.
Before the hills in
order stood, Or earth received her frame,
From everlasting Thou
art God, To endless years the same.
A thousand ages in
Thy sight, Are like an evening gone;
Short as the watch
that ends the night, Before the rising sun.
O God, our help in
ages past, Our hope for years to come,
Be Thou our guide
while life shall last, and our eternal home!
Musa mula-mula menggubah
syair mazmur itu, para ahli kitab kemudian menyalinnya. Orang lain
menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan akhirnya ke bahasa Inggris. Lebih
dari tiga ratus tahun yang lalu, Pdt. Isaac Watts (1674–1748) menggubah sebuah
syair berdasarkan mazmur tersebut. Seseorang yang lain menulis lagunya.
Seseorang lain lagi membawanya ke Amerika, dan orang lain membawanya pula
hingga tiba ke Indonesia. Kalau begitu, tiap kali menyanyikan mazmur ini, kita
pun sedang mengikatkan diri kita dalam satu ibadah menyembah Allah bersama-sama
dengan Musa, hamba Allah. Hendaklah kita selalu ingat, Musa masih hidup hingga
saat ini, yakni di hadirat Allah. Jadi, apabila kita sedang
menyanyikannya, maka sebenarnya kita bernyanyi bersama dengan umat yang dulu
telah dan kelak akan menyanyikannya. Inilah harta warisan Gereja
Tuhan!
Keempat,
himne dinyanyikan bersama gereja di segala tempat. Umat Allah bernatur universal,
meliputi kelima benua di bumi. Visi Allah yakni ketika Yerusalem baru hadir di
bumi, matahari dan bulan tak lagi diperlukan sebab kemuliaan Allah meneranginya
dan Anak Domba menjadi lampunya, serta “bangsa-bangsa akan berjalan di dalam
cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya” (Why.
21.24). Kaum pilihan Allah yang berasal dari segala ras serta suku bangsa
datang menghadap kepada Allah dan menaikkan sembah bakti mereka kepada Allah.
Visi ini telah terpancar melalui pengakuan iman yang am (harfiah “katolik,”),
yakni Pengakuan Iman Rasuli. Tetapi visi ini juga mengejawantah dengan cara
membawa pergumulan umat Allah di belahan bumi lain dalam doa dan pujian umat
yang sedang beribadah. Itulah sebabnya, kitab kidung yang baik tidak hanya
mencantumkan sederetan lagu yang berasal dari satu benua, tetapi mewakili
kelima benua di dunia.
Kelima,
himne dinyanyikan bersama semua ciptaan. Kita seharusnya sadar bahwa kita
sedang bernyanyi bersama ciptaan. Perhatikan Mazmur 19.1–5 dan khususnya
98.4, 8:
Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, Bergembiralah,
bersorak-sorailah dan bermazmurlah!
Biarlah sungai-sungai
bertepuk tangan,
dan gunung-gunung
bersorak-sorai bersama-sama
Demikian pula Mazmur pamungkas
Mazmur 150.6, “Biarlah segala yang bernapas memuji TUHAN! Haleluya!”
Pemandangan akbar ini seolah-olah hendak menyerukan warta bahwa semua ciptaan
bak orkestra akbar dan manusia adalah konduktornya. Pujian yang dinaikkan oleh
seisi alam semesta terdengar harmonis bila kebenaran, kebaikan dan keindahan
nyata hadir dalam ciptaan. Inilah visi besar bagi segenap ciptaan
(metanarasi?), yang hingga saat ini belum juga sempurna, namun pengharapan itu
pasti sebab Kristus Yesus telah menebusnya. Orkestra akbar itu harus tetap
dimainkan, makin lama makin baik; dan melalui jalan itu setiap umat Allah
diingatkan bahwa dalam memuji, mereka tengah menaikkan baik sukacita dan duka
segenap makhluk ciptaan ke hadirat Allah. Perhatikan nyanyian “All Creatures
of Our God and King,”
All creatures of our
God and King, lift up your voice and with us sing,
Alleluia! Alleluia!
Thou burning sun with golden beam,
Thou silver moon with
softer gleam! O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia,
Alleluia!
Thou rushing wind
that art so strong, Ye clouds that sail in heav©n along,
O praise Him!
Alleluia! Thou rising morn, in praise rejoice,
Ye lights of evening
find a voice! O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia,
Alleluia!
O flowing waters,
pure and clear, make music for your Lord to hear,
O praise Him!
Alleluia! O fire, so masterful and bright,
Providing us with
warmth and light. O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia,
Alleluia!
Dear mother earth,
who day by day unfolds rich blessings on our way.
O praise Him!
Alleluia! The fruits and flow©rs that verdant grow,
Let them his praise
abundant show. O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia, Alleluia!
And all ye men of
tender heart, forgiving others, take your part,
O sing ye! Alleluia!
Ye who long pain and sorrow bear,
Praise God and on Him
cast your care! O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia,
Alleluia!
And you, most kind
and gentle death, Waiting to hush our final breath,
O sing ye! Alleluia!
You lead to heav©n the child of God,
Where Christ our Lord
the way has trod. O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia,
Alleluia!
Let all things their
Creator bless, and worship Him in humbleness,
O praise Him!
Alleluia! Praise, praise the Father, praise the Son,
And praise the
Spirit, Three in One! O praise Him, O praise Him!
Alleluia, Alleluia,
Alleluia!
Keenam,
himne dinyanyikan bersama seisi surga. Ketika memuji, kita pun sedang bernyanyi
bersama orang-orang kudus dan malaikat yang sekarang ini tengah menaikkan
puji-pujian di seputar takhta Allah (Why. 4 dan 5). Kita bernyanyi bersama
orkestra semesta, namun terlebih dari itu kita pun bergabung dengan orkestra
dan paduan suara surgawi. Nabi Yesaya di PL dan Yohanes sang pelihat di PB
diizinkan untuk mengintip apa yang sedang terjadi di dalam surga. Suatu
pemandangan yang sangat memukau. Mereka yang meninggal ternyata tidak mati
jiwanya; sesungguhnya mereka sedang bernyanyi-nyanyi di sekeliling hadirat
Allah bersama makhluk-makhluk samawi. Bagaimana dengan yang masih hidup di
dunia? Tatkala menaikkan lagu, nyanyian kita tak pernah sempurna, tetapi kita
tetap menaikkan pujian, berlandaskan keyakinan bahwa pujian kita itu selaras
dengan yang dinaikkan oleh segenap isi surga. Justru dengan pujian, hati kita
diangkat ke surga untuk dekat ke takhta Allah oleh kuasa Roh Kudus, dan dengan
cara itu semakin mantaplah hati kita bahwa Allah akan berbicara kepada kita
melalui pujian kita, juga bahwa Allah akan menerima doa-doa kita. Bahkan Allah
Trinitas bernyanyi bersama kita. Contoh Doksologi “Praise God from Whom All
Blessings Flow” (“Puji Allah Bapa, Putra”) karya terjemahan Thomas Ken
(1637–1711) dari bahasa Perancis karya Louise Bourgeois (ca. 1510–1561)
yang tercantum dalam The Genevan Psalter,
Praise God from whom
all blessings flow;
Praise Him, all
creatures here below!
Praise Him above, ye
heav©nly host;
Praise Father, Son
and Holy Ghost.
IV
Kita perlu selalu mengingat,
Allah perjanjian mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Dalam ibadah,
persekutuan ini terwujud mengenai doa dan pujian. Pujian merupakan doa yang
dinyanyikan. Para pemimpin dan perancang ibadah perlu peka dengan tempat
pujian, dan selalu bertanya, bagaimana nyanyian itu menolong jemaat untuk
menaikkan doa kepada Allah? Dan, bagaimana doa-doa umat dapat dinaikkan
melalui pujian umat?
Maka, di mana tempat pujian dalam liturgi ibadah? Liturgi selalu
disusun menurut suatu alur logis, dan pujian mendukung alur tersebut. Ada
gereja yang mengutamakan kesederhanaan alur dan mementingkan Liturgi Firman.
Namun harus kita camkan selalu bahwa liturgi kadang- kadang menjadi sekadar
urutan mata acara kebaktian, karena tidak jelas alur pikirnya. Liturgi yang
baik dan benar disusun menurut logika kesaksian Alkitab yang utuh dan
menyeluruh, yang kita kenal sebagai “sejarah penebusan” (redemptive history).
Sejarah penebusan dijabarkan dalam babak -babak penciptaan dan pemeliharaan,
kejatuhan ke dalam dosa, anugerah, dan respons umat Allah untuk menjalankan
misi hingga datangnya konsumasi—puncak sejarah alam semesta. Yang sangat
penting, sejarah penebusan tersebut berpusatkan pada Yesus Kristus— Sang Firman
yang menjadi daging dan diam di antara kita; dengan kata lain, liturgi ibadah
harus dapat membawa jemaat memahami bahwa mereka sedang berkumpul di sekitar
Firman. Untuk tujuan itu, perancang ibadah perlu memahami siapa sedang
berbicara kepada siapa.
Panah ke bawah : Allah berbicara kepada kita.
Panah ke atas : kita berbicara kepada
Allah.
Panah horizontal : kadang-kadang kita
berbicara kepada sesama jemaat.[21]
|
|
Persiapan
|
a. Warta jemaat ↔
|
b. Nyanyian perhimpunan
↓↑↔
|
|
Berkumpul di seputar
Firman
|
a. Panggilan beribadah
↑↔
|
b. Nyanyian pujian ↑
|
|
c. Salam ↓
|
|
d. Doa puja atau doa
perhimpunan umat (collecta) ↑
|
|
e. Mazmur atau Himne
pujian ↑↓↔
|
|
f. Undangan pengakuan
dosa ↓
|
|
g. Doa pengakuan dosa
atau ratapan dosa ↑ (dituturkan atau
|
|
dinyanyikan)
|
|
h. Jaminan
pengampunan/Berita anugerah ↓
|
|
i. Nyanyian pujian (Gloria
Patri) ↑
|
|
j. Tanda perdamaian ↓↔
|
|
k. Ucapan syukur ↑
|
|
l. Petunjuk hidup baru
(Hukum Taurat Baru) ↓
|
|
m. Dedikasi
kemantapan(dituturkan atau dinyanyikan) ↑↔
|
|
|
a. Leksionari ↓
|
|
b. Doa epiklesis atau
doa mohon ilham (dituturkan atau
|
Proklamasi Firman
|
dinyanyikan) ↑
|
|
c. Pembacaan Alkitab ↓
|
|
d. Khotbah ↓
|
|
a. Himne respons ↑
|
Respons atas Firman
|
b. Penegasan Iman Gereja
↔↑
|
|
c. Doa umat ↑
|
|
d. Persembahan ↑↔
|
|
a. Deklarasi perjanjian
Allah dan Undangan ↓
|
|
b. Doa ucapan
syukur (atas penciptaan &
pemeliharaan,
|
|
penebusan, sursum
corda, Doa Bapa Kami) ↑
|
Pemeteraian Firman
|
c. Memecahkan roti ↓
d. Pelayanan perjamuan
↓↑↔
e. Respons syukur ↑
|
f. (Mzm. 103 dituturkan
atau dinyanyikan) ↑↔
|
|
Menyaksikan Firman ke
dalam dunia
|
a. Panggilan untuk
melayani Allah di dalam dunia atau Titah
Pemuridan ↓
b. Doksologi (dinyanyikan) ↑
c. Berkat Harun atau
Berkat Rasuli (bukan doa!) ↓
|
Himne dapat dijumpai di setiap bagian di dalam ibadah. Terkadang
seluruh jemaat menyanyi, terkadang paduan suara menyanyi. Terkadang kita
menyanyikan himne yang panjang, dengan beberapa bait, tetapi kadang-kadang kita
menyanyikan lagu yang pendek dan sederhana. Pertanyaan yang mendasar adalah: Bagaimana
cara yang terbaik agar jemaat terlibat dalam dialog antara Allah dengan
umat ibadah ini?
V
Bagaimana dengan pernyataan kesaksian firman Tuhan, “Nyanyikanlah
nyanyian baru bagi TUHAN . . .” (Mzm. 98.1; bdk. Mzm. 33.3; 40.4; 96.1; 144.9;
149.1; Yes. 42.10)? Bukankah Kitab Suci menganjurkan kita untuk menyanyikan
lagu-lagu yang baru? Benar sekali. Kita tidak perlu memutlakkan himne-himne
kuno sebagai yang paling benar. “Amazing Grace” karya John Newton,
misalnya, bukanlah karya utuh dari Newton. Ia hanya menulis liriknya, sementara
lagu yang biasa kita dengar diambil dari lagu rakyat Amerika Serikat. Sebab
itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa lagu tersebut selaras dengan keinginan
Newton. Demikian pun lagu Jerman “Ein’ feste Burg ist unser Gott” karya
Martin Luther, berasal dari lagu rakyat Jerman yang biasanya dinyanyikan di pub-pub
umum. Lagu-lagu itu termasuk kontemporer di zamannya, bahkan tergolong sekular.
Tetapi, pertimbangan untuk memakai lagu baru kiranya bukan oleh karena rasa
bosan dengan lagu-lagu lama. Prinsip yang harus kita ingat ialah, bukan karena
selera dan juga bukan karena kebiasaan kita sejak dahulu.
Reformasi sesungguhnya mengembalikan tempat dan posisi nyanyian
rohani sebagai milik umat yang beribadah. Pada era sebelumnya, Abad Pertengahan
atau Abad Kegelapan, nyanyian rohani Latin merupakan dominasi para cantor
profesional yang diangkat khusus untuk melayani ibadah. Memang lagu -lagu
diciptakan sangat indah dan inspiratif, tetapi menyanyi tak lagi diminati oleh
umat. Umat pun menjadi pasif.[22]
Reformasi mendobrak kebiasaan ini dan menempatkan nyanyian sebagai milik
jemaat, dengan menggubah lagu-lagu rohani dalam bahasa yang dimengerti umat
(bahasa ibu) serta nada-nada yang dekat dengan kehidupan jemaat. Contoh
peristiwa: Pada tahun 1501, Bohemian Brethren mengumpulkan nyanyian rohani
sebanyak 80 buah, dan edisi kedua terbit pada tahun 1505 dengan koleksi lagu
400 himne. Pada tahun 1522, kaum ini menghubungi Luther, dan dengan
keramahtamahan yang hangat Luther menyambut mereka, dan di kemudian hari
lagu-lagu mereka dimasukkan dalam kitab kidung gubahan Luther.[23]
Namun di sisi lain, para
reformator melanjutkan beberapa kebiasaan di Gereja Abad Pertengahan dan
gereja-gereja kuno sebelumnya. Di gereja Huldreich Zwingli yang sangat radikal
dan ketat itu, “Ave Maria” tetap dipertahankan. Sedangkan Calvin
memiliki sumbangsih yang besar dalam perevisian pandangan mengenai Perjamuan
Kudus serta penerbitan Nyanyian Mazmur. Ia mengundang komponis-komponis ternama
di Eropa untuk memparafrasekan Mazmur dan mengisinya dengan nada-nada yang
indah. Hasilnya, The Genevan Psalter (1562) merupakan kitab kidung
standar gereja-gereja Reformed dan dipandang sebagai buku lagu termasyhur,
sebab paling sedikit ada 1000 edisi dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Calvin benar ketika memprioritaskan Mazmur sebagai Firman yang diilhamkan
sendiri oleh Allah, dan hal ini selaras dengan pemahaman Gereja Perjanjian Baru
yang tetap mempertahankan Mazmur, bahkan selaras dengan cita-cita Paus
Gregorius Agung (menjabat 590–604 M.).[24]
Mengenai pengertian
“kontemporer” di kala itu (dan tiga abad sesudahnya) sangatlah berbeda dengan
sekarang. Meski terbilang kontemporer, para komponis zaman dulu saksama dalam
menggubah lagu gereja, baik lirik, melodi maupun harmoni. Mereka
mempertimbangkan patron dan pola sajak metrical, menulis syair yang
mudah dipahami, dan nada-nada yang tepat dan kaya menurut jiwa syair. Contoh, “Amazing
Grace” oleh John Newton,
Amazing grace how
sweet the sound,
That saved a wretch
like me;
I once was lost but
now am found,
Was blind but now I
see.
Contoh
lain adalah “O Love That Wilt Not Let Me Go” oleh George Matheson,
O love that wilt not
let me go,
I rest my weary soul
in Thee;
I give Thee back the life
I owe,
That in Thine ocean
depth its flow
May richer, fuller
be.
Merenungkan hal tersebut
pada masa sekarang, yang tertinggal dari warisan di atas hanyalah kata-kata
yang mudah dipahami. Memang, lirik lagu-lagu modern terkesan enteng.
Lebih jauh dari itu, corak lirik lagu modern semakin sentimental, melankolis,
individualistis bahkan terkesan erotis-sensual. Sebutan “Bapa” yang diajarkan
Yesus sebagai sebutan (baca: gelar) kerahiman Allah kepada segenap umat
Allah—sehingga mereka menyapa “Bapa kami”— telah bergeser kepada pengalaman
eksistensial-privat, “Bapa-ku.” Contoh:
“Bapa
yang Kekal” oleh Julita Manik
Kasih yang sempurna
telah kut’rima dari-Mu,
Bukan kar’na
kebaikanku, hanya oleh kasih karunia-Mu,
Kau pulihkan aku,
layakkanku ‘tuk dapat memanggil-Mu Bapa.
Kau b’ri yang kupinta
saat kumencari kumendapatkan,
Kuketuk pintu-Mu dan
Kau bukakan,
S’bab Kau Bapaku,
Bapa yang kekal Takkan Kau biarkan, aku melangkah hanya sendirian
Kau selalu ada bagiku,
s’bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal.
“Ku
Mau Cinta” (Falling in Love) oleh Robert dan Lea Sutanto
Kaulah yang
kurindukan, Kaulah yang kucinta;
Tiada yang lain di
hidupku selain Kau Tuhan.
Kumau cinta Engkau,
Yesus, lebih dalam kepada-Mu,
Kumau cinta Engkau,
Yesus, hanya kepada-Mu.
“Untuk
Kekasihku” oleh Robert Louis
Di dalam hadirat-Mu,
aku dan generasiku
Nyanyikan pujian,
rindukan cinta-Mu;
Dengarlah kekasihku
ingin kukatakan kepada-Mu,
Nikmatnya cinta-Mu
lebih dari anggur
Untuk kekasihku
kub’rikan cintaku,
Jadi tunangan-Mu,
Tuhan, Yesus kekasihku,
Sungguh kubahagia
menjadi mempelai bagi-Mu.
Bahkan
tidak sedikit pula nyanyian yang berlirik bombastis-triumphalis dan arogan.
Contoh:
“Nama
Yesus” oleh Ir. Erwin Badudu dan Franky Sihombing
Bangkit, s’rukan nama
Yesus; maju, nyatakan kuasa-Nya;
Kita buat Iblis
gemetar, kalahkah tipu dayanya,
Dengan kuasa
nama-Nya.
Nama Yesus, menara
yang kuat,
Nama Yesus kota
benteng yang teguh,
Nama Yesus kalahkan
semua musuh,
Nama Yesus di atas
s’galanya.
“Allah
Bangkit” oleh Ir. Lukas H. dan Theresia Age
Kerahkanlah
kekuatan-Mu, ya Allah,
Tunjukkan kuasa-Mu,
ya Tuhan,
Serakkan musuh-Mu,
s’lamatkanlah umat-Mu
Allah dahsyat di
tempat kudus-Nya.
Allah bangkit,
bersoraklah!
Allah bangkit,
bernyanyilah!
Musuh dikalahkan,
umat-Nya dibebaskan
Allah dahsyat di tempat
kudus-Nya!
Pada beberapa lagu, logika siapa
berbicara kepada siapa kian tidak jelas. Demikian pula kandungan bobot
teologis yang rancu dan kontradiktif nampak jelas.[25]
Contoh:
“Kasih
Allahku Sungguh T’lah Terbukti”
Kasih Allahku sungguh
t’lah terbukti,
Ketika Dia serahkan
Anak-Nya,
Kasih Allah mau
berkorban bagi kau dan aku,
Tak ada kasih seperti
kasih-Mu.
Bersyukur, bersyukur,
bersyukurlah,
Bersyukur kar’na
kasih setia-Mu,
Kusembah, kusembah,
kusembah dan kusembah,
S’lama hidupku
kusembah Kau Tuhan.
“Bapa,
Lembutkanlah Hatiku”
Bapa,
lembutkanlah hatiku, ‘tuk dapat lebih mengasihi-Mu,
Bapa,
bentuklah diriku, untuk dapat menjadi saksi-Mu.
Dan mengerti
rencana-Mu di dalam hidupku,
Jadikan aku semakin
indah, di hadapan-Mu.
T’rima kasih, Yesusku,
t’rima kasih Yesusku,
Puji syukur hanya
bagi Tuhanku.
“Kau
Telah Memilihku” oleh Ir. Nico Nyotoraharjo
Kau telah memilihku,
sebelum dunia dibentuk,
Betapa aku bersyukur
pada-Mu, ya Tuhan, Allahku,
Kau telah memilihku
sebagai alat K’rajaan-Mu
Betapa aku bersyukur
pada-Mu atas perbuatan-Mu.
Jadikan aku bait
Suci-Mu yang kudus dan yang tiada bercela;
Jadikan aku mezbah
doa-Mu, bagi keselamatan bangsaku.
“Jadikanku
Rumah Doa” oleh Ir. Nico Nyotoraharjo dan Ir. Djohan Handojo
Kubawa hidupku
s’karang, ke tempat kudus-Mu, Tuhan,
Di mezbah-Mu
kuserahkan seluruh hidupku.
Penuhi hatiku
s’karang dengan urapan yang baru,
Agar aku lebih lagi
mendengar suara-Mu.
Jadikan aku, Tuhan, rumah
doa-Mu,
Agar semua suku bangsa
datang menyembah-Mu.
Dalam pada itu, kita patut
menaikkan syukur kepada Allah, sekalipun banyak komponis yang telah
meninggalkan kaidah himne yang benar, serta membuat enteng syair dan
kandungan teologis lagu-lagu, masih terdapat komponis-komponis kontemporer yang
menggubah nyanyian-nyanyian gerejawi secara serius dan benar dalam kandungan
teologisnya. Contoh:
“Majesty”
[“Mulia, Sembah Raja Mulia”] oleh Jack W. Hayford
Majesty, worship his
majesty,
Unto Jesus be all
glory, honor and praise,
Majesty, Kingdom
authority
Flow from His throne,
unto His own, His anthem raise.
So exalt, lift up on
high, the name of Jesus,
Magnify, come glorify
Christ Jesus the King!
Majesty, worship his
majesty,
Jesus who died, now
glorified, King of all kings!
“Meekness
and Majesty” oleh Graham Kendrick
Meekness and majesty,
manhood and deity,
In perfect harmony,
the man who is God:
Lord of eternity,
dwells in humanity,
Kneels in humility
and washes our feet.
O what a
mystery—meekness and majesty;
Bow down and worship,
for this is your God,
This is your God!
“Besar
dan Ajaiblah Karya-Mu” oleh Ir. Nico Nyotoraharjo
Besar dan ajaiblah
karya-Mu,
Adil dan benarlah
jalan-Mu,
Raja s’gala bangsa
yang mahakuasa,
Mulia nama-Mu.
Layaklah segala
bangsa sujud kepada-Mu,
S’bab Kau Allah yang
kudus, layak disembah.
VI
Godaan besar bagi gereja
modern adalah menjadikan ibadah gerejawi informal. Tetapi hendaklah kita
berhati-hati, sebab informalitas tidak ada kait-mengaitnya dengan berita Injil
Kristen, tetapi jelas bertalian erat dengan semangat zaman. Ketika informalitas
menjadi norma, maka gereja sedang berada di ambang bahaya besar, sebab hal ini
merupakan tanda bahwa jemaat semakin jauh dari tuntutan Injil mengenai
bagaimana penataan ibadah yang benar. N. T. Wright mengingatkan kita, “We
must, then, resist the culture-driven pressure to informality. Informality
has its place, but it is not the be-all and end-all, and of itself has nothing
to specific to do with the gospel.”[26]
Saran I
Patut disayangkan, banyak
gereja pada masa sekarang telah menjadi sangat asing dengan Nyanyian Mazmur.
Bahkan gereja-gereja Reformed sendiri kian sedikit yang menyanyikannya dalam
ibadah. Nampaknya perlu mengembalikan Nyanyian Mazmur ke dalam gereja! Sebab
Mesias Yesus sangat mencintai Mazmur. Gereja Perdana di Perjanjian Baru
meninggikan Mazmur. Gereja Reformasi memulihkan tempat Mazmur, jadi mengapa
kita tidak membawa kembali nyanyian yang indah ini ke dalam gereja kita, bila
kita ingin disebut sebagai Gereja yang mengikut jejak Sang Mesias? Ciptakan
nada-nada indah untuk Mazmur, seperti pada zaman Calvin di Jenewa.
Saran II
Bagi para perancang
kebaktian, nampaknya perlu segera mengadakan seleksi yang ketat terhadap
nyanyian-nyanyian gerejawi. Harus kita sadari bersama, lagu-lagu yang
“menguasai pasar” adalah lagu-lagu kontemporer yang mudah diakses melalui
kaset-kaset dan kebaktian-kebaktian di gereja-gereja baru yang biasanya menarik
banyak pengunjung dan pelanggan, sehingga gampang sekali dipelajari dan
dihafalkan. Hal ini secara langsung atau tidak membentuk imaji (bayangan) dalam
pikiran banyak orang Kristen bahwa lagu-lagu seperti itulah yang benar dan
sesuai untuk dipakai dalam kebaktian pada masa kini. Segi isi teologi dan
pengajaran dikesampingkan.
Saran III
Dalam pada itu, para komponis himne juga harus memacu dirinya dan
mempelajari kaidah-kaidah sebuah himne yang dinyanyikan dalam ibadah. Baik
aturan maupun kandungan pengajaran di dalamnya. Tak perlu “Baratisasi” alias
berkiblat kepada gaya Barat, meskipun banyak kidung indah memang tercipta dari
belahan dunia tersebut. Hal ini bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi
justru memotivasi para komponis Kristen lokal untuk menghasilkan karya-karya
terbaik, bermutu tinggi dan bernilai kekal—tidak mudah dilupakan oleh
generasi-generasi berikutnya. Terpujilah Allah!
Daftar Bacaan:
Anthony N. S. Lane,
1999 John Calvin: Student of the Church
Fathers
Edinburgh: T & T Clark; Grand Rapids: Baker
Geoffrey Wainwright,
1980 Doxology: The Praise of God in
Worship, Doctrine and in Life
New York: Oxford University Press
Grant R. Osborne,
2002 Revelation
BECNT; Grand Rapids: Baker Academic
Hughes O. Old,
2002 Worship: Reformed according to the
Scripture
ed. rev.; Louisville: Westminster/John Knox Press
James D. G. Dunn,
1996 The Epistle to the Colossians and
Philemon
NIGTC; Grand Rapids: Eerdmans; Carlisle: Paternoster
N. T. Wright,
1986 Colossians and Philemon
TNTC; Leicester: InterVarsity; Grand Rapids: Eerdmans
2002 “Freedom and Framework, Spirit and Truth:
Recovering Biblical Worship,”
The Journal Series, Calvin College (11 January 2002)
<http://www.ntwrightpage.com>.
Robert E. Webber,
1994 Worship Old & New: A Biblical,
Historical, and Practical Introduction
ed. rev.; Grand Rapids: Zondervan
Robert H. Mounce,
1998 The Book of Revelation
NICNT; ed. rev.; Grand Rapids: Eerdmans
R. C. Sproul,
2005 What is Reformed Theology?:
Understanding the Basics
Grand Rapids: Baker
Thomas G. Long,
2001 Beyond the Worship Wars: Building
Vital and Faithful Worship
Bethesta: Alban Institute
[1] Thomas G. Long, Beyond the Worship Wars: Building Vital
and Faithful Worship (Bethesta: Alban Institute, 2001) 50-1.
[2] Dalam kisah pewayangan Jawa, Padang Kurusetra adalah medan
pertempuran puputan trah Bharata, antara Pandawa dan Kurawa yang
terkenal sebagai Bharatayudha.
[3] Karena terbatasnya ruang, maka makalah ini mengesampingkan
pembahasan mengenai jenis musik apa yang seharusnya masuk dalam gereja. Hal ini
sebenarnya banyak dinantikan oleh generasi muda, misalnya mengenai pertanyaan
apakah musik rock boleh dipakai dalam kebaktian.
[4] R. C. Sproul, What is Reformed Theology?: Understanding
the Basics (Grand Rapids: Baker, 2005) 27-30.
[5] Lih. Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the
Church Fathers (Edinburgh: T & T Clark; Grand Rapids: Baker, 1999).
[6] Lih. Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the
Church Fathers (Edinburgh: T & T Clark; Grand Rapids: Baker, 1999).
[7] Robert E. Webber, Worship Old & New: A Biblical,
Historical, and Practical Introduction (ed. rev.; Grand Rapids: Zondervan,
1994) 197. Gereja kontemporer, khususnya dari aliran Pentakosta dan
Kharismatik, mendefinisikan secara sui generis bahwa mazmur adalah
lantunan kata-kata dalam nada-nada minor yang terus diulang-ulang, sebagai
bentuk pujian yang keluar dari hati penyembah. Namun bukan pengertian tersebut
yang dimaksudkan dalam makalah ini.
[8] Hughes O. Old, Worship: Reformed according to the
Scripture (ed. rev.; Louisville: Westminster/John Knox Press, 2002) 37.
[9] James D. G. Dunn, The Epistle to the Colossians and
Philemon (NIGTC; Grand Rapids: Eerdmans; Carlisle: Paternoster, 1996) 238.
[10] N. T. Wright, Colossians and Philemon (TNTC; Leicester:
InterVarsity; Grand Rapids: Eerdmans, 1986) 145.
[11] lalou/ntej e`autoi/j ÎevnÐ yalmoi/j kai.
u[mnoij kai. wv|dai/j pneumatikai/j( a;|dontej kai.
ya,llontej th/| kardi,a| u`mw/n tw/| kuri,w|. Perhatikan, “mazmur”
dan “nyanyian” membentuk struktur khiastik (a b b' a'), sehingga
“berbicara dalam mazmur dan nyanyian” sejajar dengan “menyanyikan nyanyian dan
memainkan musik.”
[12] Robert H. Mounce, The Book of Revelation (NICNT; ed.
rev.; Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 126.
[13] Grant R. Osborne, Revelation (BECNT; Grand Rapids:
Baker Academic, 2002) 259.
[14] “War in Heaven,” dalam serial khotbah The Future Belongs
to Jesus (London: All Souls Church, 1999), format MP3.
[15] Mary Hopper, “Music and Musical Intruments,” dalam Baker
Encyclopedia of the Bible (ed. W. A. Elwell; 2 vol.; Grand Rapids: Baker,
1995) 2:1511.
[16] Ibid. 1509.
[17] Baca N. T. Wright, “Freedom and Framework, Spirit and
Truth: Recovering Biblical Worship,” The Journal Series, Calvin
College (11 January 2002) <http://www.ntwrightpage.com>.
[18] Geoffrey Wainwright, Doxology: The Praise of God in
Worship, Doctrine and in Life (New York: Oxford University Press, 1980)
203.
[19] Webber, Worship 199-200.
[20] Penulis berutang ide kepada Dr. Emily R. Brink dari Calvin
Institute of Christian Worship, Calvin College, Michigan, khususnya melalui
makalahnya “A Glimpse of Hymnology: Praying Our Songs and Singing Our Prayers,”
(makalah yang disampaikan dalam Pertemuan Raya Pemusik Gereja di Wisma Kinasih,
Caringin, Bogor, 17 Agustus 2006).
[21] Diadaptasi dari The Worship Sourcebook (ed. E. Brink
dan J. D. Witvliet; Grand Rapids: Calvin Institute of Christian Worship; Grand
Rapids: Baker, 2004) 25 serta E. Brink, “A Glimpse of Hymnology: Praying Our
Songs and Singing Our Prayers.”
[22] Webber, Worship 199.
[23] Ibid.
[24] Kini, riset modern membuktikan bahwa nada-nada mazmur
Gregorian memiliki akarnya pada nyanyian mazmur Yahudi (Hopper, “Music” 1508).
[25] Bisa jadi, efek ini dipicu oleh penemuan gitar dan
alat-alat musik elektronik yang mudah dipakai dan dimainkan, sehingga ilham
bisa datang kapan saja, tepat ketika sang komponis memain-mainkan alat musik
tersebut.
[26] Wright, “Freedom” 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar